Saya
membaca satu tulisan dari seorang ustad yang cukup terkenal tentang
“Pandangan Islam terhadap Harta.” Isinya cukup bagus, di antaranya
mengajarkan pembaca untuk jadi kaya sehingga bisa menggunakannya untuk
kebaikan.
Meski
demikian ada beberapa hal yang sepertinya kurang pas dan mengganjal di
hati saya. Misalnya karena ingin kaya akhirnya begitu melihat rumah dan
mobil bagus lalu mengelus-elus rumah dan mobil bagus milik orang lain
yang diinginkannya. Ini sama sekali bukan sunnah Nabi dan para sahabat.
Mereka tidak pernah mengelus-elus rumah atau kendaraan orang lain hanya
karena ingin memiliki itu. Atau gaya hidup mewah seperti punya pesawat
jet pribadi, naik pesawat first class, mobil mewah, dan makan makanan
enak. Begitu pula dengan beberapa bacaan penulis Barat seperti Robert
Kiyosaki yang meski sempat saya baca cukup bagus, namun tidak semuanya
bisa jadi pegangan karena akhirnya mengarah pada spekulasi saham dan MLM
(Buku-buku seperti itu memang jadi pegangan aktivis MLM).
Beberapa
panutan yang ditonjolkan juga merupakan orang-orang kaya yang
bermasalah di mana ada yang merupakan penghutang BLBI trilyunan rupiah
dan juga keluarganya melakukan penundaan pembayaran hutang ganti rugi
rumah dan tanah kepada warga Porong yang mereka rugikan, serta menjual
media TV yang mereka miliki kepada konglomerat media Yahudi, Rupert
Murdoch. Padahal ini tidak sesuai ajaran Islam:
Orang kaya yang menunda-nunda (mengulur-ulurkan waktu) pembayaran hutangnya adalah kezaliman. (HR. Bukhari)
Seorang
ulama harusnya mewarnai ummatnya dengan sibghatullah. Bukan justru
diwarnai ummatnya terutama dengan hal-hal yang kurang sesuai dengan
ajaran Islam.
Sebagai
orang Islam, pedoman kita adalah Kitabullah Al Qur’an dan Sunnah Nabi.
Insya Allah, Al Qur’an itu Haq dan Nabi itu maksum terjaga dari dosa dan
kesalahan. Ada pun manusia biasa termasuk ulama tidak lepas dari salah dan lupa.
Dari
berbagai ayat Al Qur’an dan Hadits yang saya baca, saya mengambil
kesimpulan bahwa Islam itu menganjurkan ummatnya untuk memberi. Bukan
untuk menjadi kaya. Contohnya kita disuruh membayar zakat dan juga
bersedekah.
Mungkin ada yang bertanya, ”Apa bedanya ”Memberi” dengan ”Menjadi Kaya”? Bukankah untuk memberi kita harus kaya?”
Meski
sekilas ”Memberi” sama dengan ”Menjadi Kaya”, tapi tidak serupa. Betapa
banyak orang yang kaya tapi tidak mau bayar zakat atau bersedekah?
Sebaliknya berapa banyak orang miskin atau yang hidupnya biasa saja tapi
justru rajin berzakat dan sedekah? Banyak orang yang kaya tapi tidak
berhaji. Sebaliknya banyak orang yang pas-pasan seperti TKI dan TKW
malah bisa naik haji.
Mungkin ada yang bertanya, ”Apa iya orang miskin atau pas-pasan bisa sedekah/bayar zakat?” Jawabnya bisa:
Dari
Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya: Wahai Rasulullah,
sedekah apakah yang paling mulia? Beliau menjawab: “Sedekah orang yang
tak punya, dan mulailah memberi sedekah atas orang yang banyak
tanggungannya. Dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih
menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim.
Bukan cuma dari hadits, ini pengalaman saya sendiri. Sebagai
Ketua sebuah organisasi, beberapa orang menyumbang melalui saya.
Ternyata penyumbang terbesar itu bukanlah orang yang kaya menurut
pandangan ustad tersebut. Luas rumahnya paling tidak lebih dari 30 m2,
mobil dan motor dia tidak punya. Namun dia menyumbang laptop dan palmtop
(paling tidak nilainya Rp 3 juta) untuk ummat sambil memberi uang cash
Rp 200 ribu. Dia jamu saya dengan makanan dan teh botol. Anggota-anggota
lain yang punya mobil dan rumah bagus belum tentu bisa begitu. Ustad
yang menerima laptop tersebut rumahnya dan sofanya jauh lebih bagus
daripada rumah teman saya yang menyumbang. Teman saya bahkan tak punya
sofa/kursi dan meja di ruang tamunya.
Sebalik
ketika saya bersama teman-teman berkunjung ke rumah orang kaya di
bilangan Jakarta Selatan, masya Allah. Meski lewat waktu makan malam
cuma dihidangi minum saja sehingga perut kelaparan. Sampai di rumah
sekitar jam 23:30 malam saya makan malam sambil gemetaran…Padahal orang
kaya ini (Direktur Utama berbagai perusahaan besar di Indonesia)
rumahnya sangat besar, mobilnya mewah dan banyak.
Kalau
disuruh memilih harus bertamu ke siapa, saya tidak akan ragu untuk
memilih bertamu ke rumah teman saya yang biasa saja tapi gemar memberi
ketimbang ke rumah orang kaya namun ”hematnya” minta ampun…
Dalam
Islam, yang diperintahkan adalah membelanjakan harta untuk kebaikan.
Bukan menjadi kaya. Misalnya dalam rukun Islam tidak ada perintah jadi
orang kaya. Yang ada adalah membayar zakat dan pergi berhaji JIKA mampu.
Saat ini saya melihat sebagian orang menganggap bahwa Islam mengharuskan ummat Islam harus kaya dengan alasan Nabi dulu kaya dan banyak perintah Islam seperti Zakat, Haji, Sedekah mensyaratkan adanya kekayaan.
Meski
sekilas kelihatan benar, namun kiranya hal itu kurang tepat. Apalagi
jika akhirnya untuk menjadi kaya semua cara dihalalkan dan
membelanjakannya pun dengan bermewah-mewah serta memandang hina orang
miskin.
”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’” [Al Baqarah:43]
”Dan
(ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada
ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta
ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.” [Al
Baqarah:83]
”Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang
kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi
Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” [Al
Baqarah:110]
Ayat-ayat
Al Qur’an di atas cukup jelas bahwa Islam memerintahkan ummatnya untuk
membayar zakat dan bersedekah kepada kerabat dan fakir miskin. Bukan
menjadi kaya karena berapa banyak orang yang kaya tapi tidak bayar zakat
dan bersedekah.
Hadits
Nabi ”Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” adalah
himbauan untuk memberi. Artinya orang yang memberi lebih mulia daripada
orang yang meminta. Bukan orang kaya lebih mulia dari pada orang miskin. Berapa banyak orang yang kaya tapi dari hasil minta-minta suap atau komisi dan enggan bersedekah.
Menjadi
kaya bukanlah tujuan dalam Islam. Berapa banyak orang yang kaya, tapi
dilaknat Allah dalam Al Qur’an. Contohnya Karun. Kekayaannya sangat
besar, namun karena sombong dan enggan menolong, dia mati dibenamkan ke
dalam bumi oleh Allah SWT.
Saking kayanya Karun, kunci-kunci gudang hartanya saja sangat berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat macam Ade Rai…:
”Sesungguhnya
Karun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap
mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta
yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang
kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: “Janganlah kamu
terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
terlalu membanggakan diri” [Al Qashash:76]
Bukan hanya Karun orang kaya yang disiksa Allah. Sebelumnya banyak orang-orang yang lebih kaya juga dibinasakan oleh Allah SWT:
Karun
berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada
padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah
membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan
lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.” QS 28.78
Mengharap kaya seperti Karun bukanlah ajaran Islam:
”Maka
keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah
orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita
mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia
benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”.
Berkatalah
orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu,
pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang
sabar”.[Al Qashash:79-80]
Allah membenamkan Karun beserta hartanya ke dalam bumi dan orang yang ingin kaya seperti Karun menyesal:
”Maka
Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada
baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan
tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).
Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu. berkata:
“Aduhai.
benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari
hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan
karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula).
Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat
Allah)”. [Al Qashash:81-82]
Ayat di atas jelas bahwa menjadi kaya bukanlah tujuan dalam Islam. Untuk memperjelas saya tampilkan lagi ayat yang lain:
”Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” [At Takatsuur:1]
Harta/kekayaan tidak ada manfaatnya jika dari yang haram atau tidak digunakan di jalan Allah:
”Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.” [Al Lahab:2]
Dalam
hal mencari kekayaan, orang sering lupa sehingga yang haram menjadi
halal. Indonesia adalah merupakan satu negara terkorup di dunia padahal
mayoritasnya ummat Islam. Karena ingin kaya, banyak ummat Islam memilih
jalan pintas dengan korupsi, mendapat komisi, dan sebagainya.
Banyak
pejabat yang tidak mau kerja kecuali jika diberi uang padahal
sebetulnya itu memang pekerjaan yang harus dia kerjakan. Sebagai contoh
baru-baru ini ada berita Gubernur BI memberikan uang milyaran rupiah
kepada DPR agar DPR membuat UU tentang BLBI. Untuk apa DPR diberi uang
padahal membuat UU memang tugas mereka? Anggota DPR yang sebagian
berasal dari Parpol Islam kan sudah digaji besar untuk membuat UU,
mengapa harus diberi uang lagi? Inilah akibatnya jika kekayaan jadi
tujuan utama seorang Muslim.
Rasulullah
SAW berkata: ”Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan terhadap
kalian, tetapi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia
dilimpahkan kepada kalian sebagaimana telah dilimpahkan kepada
orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian akan berlomba-lomba
mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu
membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka.” (Shahih Muslim No.5261)
Dalam
surat Al Maa’uun disebut bahwa orang yang enggan menolong anak yatim
dan fakir miskin dengan barang berguna sebagai pendusta agama meski dia
sholat:
”Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?
Itulah orang yang menghardik anak yatim,
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,
orang-orang yang berbuat ria.
dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” [Al Maa’uun:1-7]
Allah tidak memandang apakah orang itu kaya atau banyak harta:
”Dan
orang-orang yang di atas A’raaf memanggil beberapa orang (pemuka-pemuka
orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan tanda-tandanya dengan
mengatakan: “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu
sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu.” [Al A’raaf:48]
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan:
”Makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada
fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” [Al An’aam:141]
Orang
yang hidup mewah secara berlebih sulit untuk bersedekah. Sebagai
contoh, orang yang hartanya Rp 10 milyar, jika dia hemat dia hanya
memakai Rp 1 milyar untuk kebutuhan hidupnya dan Rp 9 milyar
dibelanjakan di jalan Allah. Tapi orang yang hidup boros, misalnya ada
orang yang barang-barang melekat di badannya (pakaian, sepatu, jam
tangan) saja sudah Rp 2 milyar, bisa menghabiskan Rp 10 milyar untuk
bermewah-mewahan sehingga tidak ada lagi uang tersisa untuk zakat dan
sedekah. Bahkan bisa jadi pengeluarannya berlebih hingga terbelenggu
hutang.
Mengenai
pandangan hidup mewah untuk ”meningkatkan kualitas hidup”, adakah itu
sesuai Al Qur’an dan Sunnah Nabi? Allah melarang kita
menghambur-hamburkan harta secara boros. Sebaliknya memerintahkan kita
untuk bersedekah:
”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” [Al Israa’:26-27]
Nabi
Muhammad sendiri selaku Nabi dan pimpinan negara di mana kerajaan
Romawi dan Persia sudah hampir jatuh di tangannya meski kaya menolak
hidup mewah. Pada
zaman Sahabat kedua kerajaan besar itu takluk di tangan Islam. Tidak
seperti Raja Romawi dan Persia yang hidup mewah bergelimang harta,
beliau hidup sederhana. Nabi tidur hanya beralaskan pelepah kurma
sementara perabot rumahnya sedikit sekali sehingga membuat Umar ra
menangis terharu:
Kisah
Umar ra: Aku (Umar) lalu segera masuk menemui Rasulullah saw. yang
sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekatnya lalu beliau
menurunkan kain sarungnya dan tidak ada sesuatu lain yang menutupi
beliau selain kain itu. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di
tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandangan ke sekitar kamar
beliau. Tiba-tiba aku melihat segenggam gandum kira-kira seberat satu
sha‘ dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar serta sehelai
kulit binatang yang belum sempurna disamak. Seketika kedua mataku
meneteskan air mata tanpa dapat kutahan. Rasulullah bertanya: Apakah
yang membuatmu menangis, wahai putra Khathab? Aku menjawab: Wahai
Rasulullah, bagaimana aku tidak menangis, tikar itu telah membekas di
pinggangmu dan tempat ini aku tidak melihat yang lain dari apa yang
telah aku lihat. Sementara kaisar (raja Romawi) dan kisra (raja Persia)
bergelimang buah-buahan dan sungai-sungai sedangkan engkau adalah utusan
Allah dan hamba pilihan-Nya hanya berada dalam sebuah kamar pengasingan
seperti ini. Rasulullah saw. lalu bersabda: Wahai putra Khathab, apakah
kamu tidak rela, jika akhirat menjadi bagian kita dan dunia menjadi
bagian mereka? [Muslim]
Keluarga Nabi tidak pernah 3 hari berturut-turut makan dengan kenyang. Selalu ada saat kelaparan setiap 3 hari.
‘Aisyah
melaporkan: Tidak pernah keluarga Muhammad (SAW) makan sampai kenyang
dengan roti gandum untuk tiga malam berturut-turut sejak kedatangan
mereka di Medina hingga wafatnya” [Muslim]
Inilah sunnah Nabi kita. Kaya,
tapi memilih menyumbangkan kekayaannya untuk kejayaan Islam. Bukan
menumpuk-numpuk kekayaannya untuk bermegah-megahan seperti dalam surat
At Takatsuur.
Para sahabat seperti Usman
bin Affan menyumbang sepertiga hartanya untuk jihad di jalan Allah.
Umar bin Khothob menyumbang separuh hartanya. Dan Abu Bakar menyumbang
seluruh hartanya. Mereka menggunakan hartanya untuk memperkuat Islam
sehingga persenjataan ummat Islam kuat dan lengkap dan bisa membiayai
tentara yang tidak mampu secara finansial. Bukan untuk kepentingan
pribadi secara berlebihan. Nah, semangat memberi, semangat berinfak inilah yang harus kita tiru.
Sempat
para sahabat dalam 7 peperangan sampai makan belalang karena lapar.
Pernah juga mereka makan seekor kambing yang dimakan beramai-ramai.
Meski hidup prihatin, namun Nabi dan para sahabat dalam berjihad justru
luar biasa hebatnya sehingga dua super power dunia waktu itu, Romawi dan
Persia tidak dapat menaklukkan pasukan Islam. Justru
merekalah yang tunduk. Harta yang ada digunakan bukan untuk kepentingan
pribadi atau hidup mewah, tapi digunakan untuk melengkapi kendaraan,
senjata, dan juga logistik untuk jihad.
Coba
bayangkan pasukan mana yang akan menang? Jenderal yang memilih dana
yang ada untuk membeli mobil mercy dan jaguar sementara panser amfibinya
dibiarkan tua (buatan tahun 1962) dan bisa tenggelam dilaut dengan
sendirinya atau jenderal yang memilih mobil yang sederhana dan membeli
mobil tank yang canggih untuk anak buahnya?
Mana
yang lebih baik? Jenderal yang memakai uang yang ada untuk beli pesawat
pribadi yang mewah sementara anak buahnya naik pesawat tua Hercules
yang umurnya hampir setengah abad sehingga belum kena peluru lawan sudah
jatuh dengan sendirinya atau jenderal yang sederhana dan naik pesawat
terbang dinas yang dipakai bersama-sama rekannya kemudian menggunakan
sisa uangnya untuk pesawat tempur yang canggih?
Banyak
orang-orang Arab yang kaya, tapi mereka tidak mampu mengalahkan Israel
karena mereka lebih memilih menggunakan kekayaannya untuk hidup mewah.
Bukan untuk membeli persenjataan yang bagus dan lengkap guna berjihad di
jalan Allah. Orang-orang Arab yang jumlahnya 200 juta orang tak mampu
mengalahkan orang Israel yang hanya 4 juta orang.
Tsaubah
ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Nyaris orang-orang kafir
menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas
piring. Berkata seseorang: Apakah karena jumlah kami sedikit waktu itu?
Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi
kamu seperti buih di lautan. Dan Allah mencabut rasa takut
musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu
penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu?
Beliau bersabda: Cinta dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no.
4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Di
Indonesia banyak orang miskin dan senjatanya sedikit serta antik-antik.
Apakah kita kekurangan uang? Tidak juga. Para pejabat kita umumnya
tidak mempergunakan uang yang ada untuk mensejahterakan rakyatnya. Tapi
untuk memperkaya pribadi. Tak heran jika hartanya puluhan milyar rupiah
dan sering tidak sesuai dengan gaji yang mereka terima. Banyak yang
menghabiskan Rp 2-3 milyar rupiah untuk satu pernikahan anaknya. Jumlah
ini sebenarnya cukup untuk memberi rumah tempat berteduh 80 orang.
Tentu
saja ini bukan berarti ummat Islam harus malas mencari rezeki dan hidup
miskin. Sebagaimana Sunnah Nabi dan contoh para sahabat, Nabi bisa kaya
dan hidup mewah jika mau. Tapi beliau lebih memilih untuk bersedekah
dan membelanjakan hartanya di jalan Allah:
Istri
Nabi, ’Aisyah berkata bahwa pernah Nabi pagi-pagi mendapat hadiah yang
banyak. Namun sebelum petang tiba harta tersebut sudah habis dibagikan
untuk fakir miskin. Itulah akhlak Nabi sesuai ayat Al Qur’an di bawah:
Allah
SWT berkata, ”Engkau tak akan mendapatkan kebaikan apa pun hingga
kalian menyedekahkan sebagian harta yang paling kalian
cintai.Ketahuilah, apa pun yang kalian infakkan, Allah pasti
mengetahuinya.” (Ali ‘Imran: 92).
”Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” [Al
Baqarah:195]
Nabi
memiliki rumah untuk berteduh, kendaraan untuk dakwah dan jihad, baju
zirah dan pedang untuk berperang. Idealnya para Muslim memiliki hal itu.
Nabi memilih yang terbaik manfaatnya, tapi bukan yang termewah/mahal.
Sebagai contoh Nabi memilih cincin perak untuk stempel ketimbang cincin
emas. Nabi juga memilih baju zirah dan pedang dari baja yang kuat
ketimbang emas 24 karat yang lunak.
Bukankah
ketika kita mencari rezeki, akan terlihat perbedaannya antara orang
yang niatnya hanya untuk kaya sehingga bisa punya rumah dan mobil mewah
serta makan enak dengan orang yang ingin membelanjakan hartanya di jalan
Allah lillahi ta’ala?
Jadi
luruskan niat kita lillahi ta’ala. Masih banyak orang miskin di sekitar
kita, bahkan banyak yang bunuh diri karena kemiskinan. Bantu mereka.
Jangan habiskan harta kita karena gaya hidup kita yang boros.
Dari Umar bin Khottob ra dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh SAW bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal tergantung kepada niat,
dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu,
barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya
kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah untuk
mendapatkan dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’”
(Bukhari-Muslim)
Jadi niatkan semua untuk Lillahi ta’ala. Bukan yang lainnya seperti dunia atau harta.
Saat ini bermunculan motivator Islam. Ini
bagus. Tapi jangan sampai kita mengikuti motivator Barat sehingga
akhirnya tenggelam pada materialisme/duniawi. Meski Islam MELARANG kita
melupakan dunia, namun Islam mengajarkan kita mengutamakan akhirat:
”Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan
duniawi” [Al Qashash:77]
”Barangsiapa
menghendaki kehidupan dunia, maka Kami segerakan baginya di dunia dan
Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan
tercela dan terusir” [Al Israa’:18]
Allah
mengingatkan kita bahwa akhirat lebih baik dan kekal dari dunia karena
manusia memang cenderung pada dunia hingga banyak yang lupa akan
akhirat:
”Sungguh hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada dunia” [Adh Dhuhaa:4]
”Akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” [Al A’laa:17]
Di Indonesia banyak orang miskin. Menurut media VHR, 50.000 rakyat Indonesia bunuh
diri karena kemiskinan dalam 3 tahun terakhir. Bahkan di media Surya
Online diberitakan ada anak SD usia 11 tahun yang bunuh diri karena
tidak kuat menahan lapar dan sakit maag yang diderita karena dia hanya
sanggup makan sekali sehari. Tidak sepantasnya ummat Islam hidup
bermewah-mewah sementara mayoritas rakyat hidup miskin karena ini tanda
dari kurangnya iman:
”Tidak
beriman kepadaku orang yang tidur dengan kenyang sementara tetangganya
lapar padahal dia mengetahui hal itu.” (HR. Al Bazzaar)
0 komentar:
Posting Komentar